Kamis, 19 November 2009

SERIGALA TERAKHIR





Setelah selama 2 bulan terakhir bioskop di Indonesia hanya dibanjiri oleh film-film nasional yang berjenis komedi dan drama, mulai 5 November 2009 mendatang sebuah film nasional berjenis drama action akan ikut meramaikan bioskop Indonesia. Film ini berjudul Serigala Terakhir, karya sutradara Upi Avianto, produksi PT Investasi Film Indonesia (IFI), dan dibintangi antara lain oleh Vino G Bastian, Fanny Fabriana, Fathir Muchtar, Ali Syakieb, Dallas Pratama, serta aktor senior George Rudy, Ully Artha, dan Agus Melasz.
Keistimewaan film Serigala Terakhir terletak pada totalitas isi adegannya sebagai film action. Walau film ini tetap diramu dengan bumbu kisah cinta seperti layaknya film-film drama nasional lainnya, namun Serigala Terakhir berhasil menghadirkan adegan-adegan laga yang tampak nyata dengan jalan cerita yang realistis.

Keberhasilan itu didapatkan dari pengangkatan plot cerita yang mengakar pada kasus kriminalitas yang hampir setiap harinya memang dihadapi dan dialami masyarakat Indonesia, dari mulai kasus kejahatan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat miskin di perkotaan hingga kejahatan penjahat kerah putih (mafia). Pemerasan, perampokan, penodongan, pembunuhan, penghianatan, korupsi, hingga keberpihakan hukum pada uang dan kekuasaan.

Menurut Upi, yang sebelumnya telah terkenal lewat filmnya 30 Hari Mencari Cinta (2004, Rexcinema) serta Realita, Cinta dan Rock N’ Roll (2006, Virgo Putra Film), inspirasi untuk menulis cerita Serigala Terakhir memang ia dapatkan dari hasil perenungannya akan kondisi nyata masyarakat Indonesia yang hampir setiap harinya harus berhadapan dengan ancaman kejahatan dan berbagai kasus kriminalitas. Lewat Serigala Terakhir, ia ingin menggambarkan bahwa kehidupan nyata memang tidak semenyenangkan isi film dan komik, dimana jagoan selalu berjaya ataupun kebenaran selalu memang melawan kejahatan.

“Inspirasi itu aku dapatkan pada sekitar tahun 2008 akhir. Aku merenungkan bahwa ternyata hidup memang tidak semenyenangkan isi film. Kita bisa lihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat kita hampir tiap harinya selalu berada di bawah ancaman kasus kekerasan. Kalau di film kan jagoan selalu menang melawan penjahat, kebenaran selalu menang melawan kejahatan, padahal dalam kenyataannya hal itu tidak selalu terjadi. Kita bisa lihat sendiri bagaimana kenyataannya orang jahatpun justru dimenangkan pengadilan, koruptor dilindungi hukum, sementara orang-orang yang membela kebenaran justru dikalahkan, teraniaya, dan dimusuhi. Ini yang mau aku gambarkan lewat film Serigala Terakhir,” papar Upi., yang dijumpai Waspada Online selepas acara rilis film tersebut di gedung FX Lifestyle X’Enter, Senayan, Jakarta (3/11).

Selain berhasil menyajikan plot cerita kriminalitas yang realistis, film Serigala Terakhir juga berhasil menyajikan adegan-adegan laga (perkelahian, tembak-menembak, dan kejar-kejaran mobil) yang tampak nyata. Keberhasilan ini didapatkan dari penggunaan efek khusus yang membuat anggaran (budget) film Serigala Terakhir membengkak hingga 10 Milyar Rupiah (dari budget semula yang dianggarkan 8 Milyar Rupiah), penggunaan penjara penjahat kelas kakap, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat untuk menggambarkan kehidupan keras para narapidana, serta adegan perkelahian yang sengaja dibuat sealamiah mungkin tanpa penggunaan jurus-jurus khas beladiri.

“Kita memang sengaja tidak dilatih karate, kungfu, atau ilmu beladiri lainnya, jadi adegan berantemnya lebih sesuai dengan kondisi nyata keseharian penjahat di Indonesia. Jarang kan ada orang di negeri kita berantem pake kuda-kuda ala kungfu, karate, dan lainnya. Latihan yang kita jalankan untuk shooting film ini hanya koreografi berantem aja,” urai Vino G Bastian, yang dalam film Serigala Terakhir memang harus memerankan tokoh mantan narapidana yang harus berkelahi melawan suatu geng penjahat kerah putih.

Serigala Terakhir sendiri bercerita tentang 5 orang sahabat yang tinggal di sebuah kampung dan sering berbuat onar. Mereka adalah Ale, Jarot, Lukman, Sadat dan Jago. Persahabatan mereka sungguh kental sehingga mereka berjanji akan setia sampai mati. Namun, kejadian yang terjadi sungguh melenceng dari janji mereka.

Diawali ketika terjadi keributan dalam sebuah pertandingan sepakbola. Ale diserang oleh seorang pemuda dengan sebuah pisau. Posisi Ale yang terdesak membuat Jarot bertindak dan memukul kepala pemuda tersebut dengan balok. Pemuda tersebut pun meninggal di tempat. Polisi pun menggiring Jarot ke penjara. Di sinilah arti persahabatan mereka di uji.

Benar saja, selama Jarot di penjara, ke 4 sahabatnya tidak pernah menjenguk Jarot selama mendekam di penjara. Jarot pun merasa dikhianati oleh sahabat - sahabatnya sendiri. Masa tahanan Jarot pun berakhir. Ia dapat menghirup udara bebas. Untuk membalas sakit hati terhadap sahabat - sahabatnya, Jarot memutuskan untuk bergabung dengan kelompok Mafia Naga Hitam. Seperti diketahui, Naga Hitam adalah musuh Ale, Sadat, Lukman dan Jago.

Jarot mulai melakukan aksinya dengan berjualan narkoba di wilayah kekuasaan sahabat - sahabatnya. Adik Lukman pun menjadi korban ketika mengalami over dosis dan meninggal. Lukman pun berang dan ingin membalas perbuatan Jarot. Persoalan semakin rumit ketika Jarot jatuh cinta kepada adik perempuan Ale, Aisyah.

Keseriusan Upi dalam menulis cerita dan menyutradarai film Serigala Terakhir memang membuat adegan-adegan dalam film itu banyak menampilkan kekerasan dan darah. Namun bagi Upi, ia memang ingin agar Serigala Terakhir benar-benar tampil total sebagai film action, sehingga ia juga berupaya membuat adegan laga dalam film itu tidak bersifat tanggung atau dibuat secara setengah hati.

“Aku memang tak ingin film action ini nanggung. Kalau jalan cerita dan genre memang ingin action, ya jangan nanggung, harus total, jadi memang tidak masalah buatku film ini jadi tampak berdarah-darah, justru itu menunjukkan totalitasnya sebagai film action,” ujar Upi.

Dibalik adegan penuh darah itu, Upi ingin agar pesan moral dalam filmnya ini juga ditangkap penonton. Film Serigala Terakhir menurutnya merupakan film yang sebenarnya berkisah tentang persahabatan, kesetiaan, dan kehormatan, sehingga adegan penuh darah di dalamnya tidak hadir tanpa makna, melainkan sanggup memberi pembelajaran yang positif bagi masyarakat dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
“Bahwa di tengah kekerasan dan ketidakadilan yang membayangi kehidupan kita sehari-hari, persahabatan, kesetiaan, dan penghargaan terhadap sesama justru akan membuat kita tetap kuat dan tangguh dalam menjalani hidup,” tandas Upi.



Share/Bookmark

Tidak ada komentar:

Posting Komentar